RSS

Perenungan



Hari ini hari Rabu kan? Oh iya benar, mengingatkanku pada pelajaran Olahraga di sekolah yang memberikan wejangan liburan lebaran. Sigh sigh, kalau bisa dibilang aku lumayan benci kerja kelompok. Bukan masalahnya diskusi atau sebangsanya (terkadang kalau jadi kaum minoritas dalam diskusi juga ftw) tapi masalah kendaraan dan waktu yang berjalan begitu saja hanya dipenuhi cekakak-cekikik anggotanya. Ah sudahlah, toh mau bagaimanapun juga selama statusku masih pelajar atau mahasiswi kelak tidak akan jauh-jauh dari yang namanya kerja kelompok.

Ada hubungannya dengan sifatku yang hampir anti sosial, eh? Entahlah. Nyatanya akhir-akhir ini aku memang jarang berkomunikasi dengan makhluk luar rumah (memang selalu begitu). Dan aku belum bilang Selamat Idul Fitri 1431 H. Nah, sudah bilang kan barusan? Oh oh, lupa dengan embel-embel Mohon Maaf Lahir dan Batin (silahkan tampol sepuas hati sehabis ini). Sudah berlalu hari kemenangan dan sisanya hanya aku serta segerombolan pelajar Indonesia yang mengadah ke langit dengan tangan bersedekap meminta hari Senin tidak pernah tiba. Akankah Senin depan tetap menjadi Hellmonday seperti biasa? Kita lihat saja nanti. Asumsiku awal-awal masuk sekolah seperti Senin, Selasa, Rabu belumlah menjadi Hellmonday, Craptuesday, dan Heckwednesday karena masih terdapat secercah euforia puing-puing hari kemenangan. Dan sisanya; Kamin, Jumat, Sabtu adalah hari bermuram durja sampai minggu-minggu sekolah seterusnya.

Sudah rahasia umum bahwa hampir seluruh umat pelajar di Indonesia mungkin dunia, pernah mengalami masa-masa sulit dan membangkang seperti ini. Tapi tetap saja kita diperintahkan Tuhan untuk menuntut ilmu sampai napas terakhir. Yeah, masalahnya kadang aku belum merasakan keikhlasan menuntut ilmu karena perintah Tuhan. Seorang guru pernah berkata "Apa sih niat kita sebenarnya ke sekolah? Menuntut ilmu atau mengejar nilai?" disitu aku termenung dan diam cukup lama meresapi pertanyaan simpel beliau. Selama ini aku sekolah karena memang kewajibanku sekolah. Kalau tidak sekolah nanti jadi bodoh dan terbelakang, apalagi tidak ada alasan untuk tidak bersekolah karena kesempatan dan kemauan ada. Lain halnya dengan orang-orang yang tidak memiliki kesempatan tapi kemauannya menggebu. Adapula yang punya kesempatan tapi tidak ada kemauan (meski kuyakin lambat laun ada sedikit kemauan meski dipaksakan dan mempunyai tujuan berbeda).

Jadi sekarang aku menulis sambil memasukkan kata-kataku sendiri dalam otak dan hatiku. Aku kembali menelaah hari-hari yang lalu. Saat di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, sampai sekarang aku bisa mengenyam ilmu di Sekolah Menengah Atas yang bisa dibilang favorit di kotaku. Harusnya aku bersyukur bukan? Bersyukur karena kesempatan masih tetap setia berada di pihakku. Sedangkan kemauan--meski sedikit menipis-- masih kugenggam. Akan lebih sulit jika kemauan yang sudah ada sejak lama makin hari makin menipis hingga akhirnya tidak ada gairah untuk menuntut ilmu. Tapi kan masih bisa dipaksakan!? Ya, dan itulah yang kulakukan pada diriku. Memaksakan diri agar kemauan itu tidak hilang.

Memang sifat manusia (atau mungkin lebih kepada diriku) yang punya rasa malas, mungkin itu juga menjadi salah satu penyebab lunturnya minat belajar. Belajar Putih. Belajar yang benar-benar dimaksudkan untuk menuntut ilmu demi kebaikan. Bukan Belajar Hitam. Belajar untuk hal-hal negatif (yang sebenarnya tidak usah dipelajari ada dalam setiap individu manusia hanya saja tergantung lingkungan yang mungkin bisa membangkitkannya). Dan Belajar Putih bukan hanya sekedar menuntut ilmu demi kebaikan. Tapi juga dituntut keikhlasannya semata-mata karena Tuhan. Karena Tuhan memerintahkan kita untuk menuntut ilmu. Karena Tuhan tidak ingin umatnya menjadi bodoh dan terbelakang. Karena Tuhan sayang kita semua.

Bukan karena nilai Outstanding dari angka 9 sampai 10. Bukan karena hanya ingin lulus dengan mendapat nilai Acceptable yang hanya memenuhi standar kelulusan dengan slogan 'Yang Penting Lulus'. Bukan karena ingin dipuja-puji seantero sekolah karena ketampanan, kecantikan, atau prestasi yang diraihnya. Baru kusadari sekarang, saat menulis beronggok-onggok kalimat ini--bahwa tujuanku ke sekolah selama ini salah. Dan kembali aku berkaca pada kehidupan yang malah memantulkan kematian. Kematian adalah ujung dimana kita harus berhenti menuntut ilmu sesuai yang diperintahkan-Nya. Kenapa harus berhenti? Karena silahkan saja kalau kalian bisa menuntut ilmu setelah kematian, tidak akan ada orang yang menyesal. Tidak akan ada orang yang sadar karena telah menyia-nyiakan waktu hidupnya untuk mencari butir-butir ilmu.


0 ocehan: